Tuesday, October 8, 2013



KEMATANGAN SPIRITUAL:MENJAGA KESEIMBANGAN


“Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” ― Albert Einstein

By Moh.Ya’kub S

Pada hari senin,23 September 2013 saya telpon temen saya Nuryamin Aini(Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) untuk temu kangen. Pertemuan pun terjadi di rumah Eno Syafruddien. Dalam pertemuan itu kami berdiskusi masalah KEMATANGAN SPIRITUAL, yang dlm salah satu wujudnya berupa TOLERANSI. Topik ini mengalir begitu saja.Bisa jadi karena kami acapkali menyaksikan intoleransi dalam keseharian kita saat ini.


Kekerasan demi kekerasan terjadi tanpa pernah bisa  diselesaikan secara menyeluruh. Konflik SARA,misalanya, sudah menjadi tontonan wajar yang mengiringi sarapan pagi kita. Husus konflik yang bernuansa agama paling banyak muncul di permukaan.Ada konflik Poso,konflik di Kepulauan Maluku, konflik Papua, Jawa,Sumatra,Kalimantan, dll. Di Maluku, konflik pernah terbilang merembet cukup cepat. Kecepatan ini dipicu oleh kondisioning yang matang berupa rivalitas yang terjadi antara Aqib Latuconsina (representasi Muslim Maluku) dengan Freddy Latumahina (representasi Kristen Maluku). Juga di Jawa Tengah, sejak Januari hingga Agustus terjadi 25 kasus konflik bernuansa agama. Pengajian jemaah Majelis Tafsir Alquran (MTA) di Kudus dibubarkan aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU), penolakan warga atas pembangunan Vihara di Salatiga, kasus penghentian pembangunan sanggar Sapto Darmo di Rembang, serta penghentian pembangunan sanggar Ngesti Ksampurnan di Sumowono Kabupaten Semarang. Di Banten, ada penggembokan Gereja Paroki St. Bernadette di Bintaro,  tepatnya di Tangerang Selatan.Di Madura, ada pengusiran warga syiah. Juga di beberapa tempat terus terjadi pengrusakan tempat ibadah jamah Ahmadiyah.

Kenapa hal ini terus terjadi? Eno Syafruddien mempertanyakan, apakah para pihak yang menurut pandangan kita tidak toleran itu sebagai pihak yang tidak matang secara spiritualitas, atau justeru sebaliknya, mereka melakukan itu karena mereka ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sesuai dengan tuntunan agama yang mereka pahami dan mereka yakini?

Dari pertanyaan tersebut, diskusi kami bertiga masuk ke masalah KONFLIK BATIN DALAM JIWA  MANUSIA. Dalam al Qur’an ada 3 aspek dari hakikat  jiwa (nafs) ini. Pertama, al-Nafs al-Amarah(nafsu jahat yang mendesak.Lihat al-Qur’an,XII:53). Ia mendesak agen moral untuk melampiaskan tuntutan tuntutan yang tidak terkontrol.Desakan untuk korupsi(maaf menyela,saat saya lagi nulis ini Ketua MK Akil Muhtar ditangkap KPK), mencuri,membunuh, memperkosa, memaksakan kehendak, serakah, dholim,arogan, ingin menang sendiri, iri, dengki,ujub,riya,nafsu berkuasa dengan menghalalkan berbagai macam cara, cinta duniawi yang membabi buta, umbar syahwat biologis seksual, nafsu merasa paling benar sendiri, sementara orang lain yang tidak sepaham dianggapnya salah, kafir, dan kalau perlu dibunuh, dll. “…sesungguhnya nafsu tersebut menyuruh pada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”(XII:53). Kedua, al-Nafs al-Lawwamah(nafsu yang sadar.Lihat al-Qur’an,LXXV:2).Ia senantiasa menunjukkan jalan kebaikan: amanah bila dipercaya, berkomitmen bila berjanji, berkata benar, jujur, adil, dermawan, rendah hati, toleran, tepo seliro,menebar energy positif dimana mana, tidak memaksakan kehendak, tidak membunuh manusia demi pembelaannya kepada Tuhan karena hakikatnya Tuhan itu tidak perlu dibela. Tuhan Maha Kuasa, Yang Paling Kuat dari yang kuat. Tuhan Maha Perkasa yang keperkasaannya tidak ada yang menandingi. Mengapa kita harus membunuh manusia demi pembelaannya kepada Tuhan? Kita yakin dan seyakin yakinnya: Bila Tuhan menghendaki manusia semuanya menjadi baik, pasti tidak ada manusia jahat. Bila Tuhan menghendaki semua manusia jahat pasti tidak ada manusia baik. Bila Tuhan menghendaki semuanya kaya pasti tidak ada yang miskin. Bila Tuhan menghendaki semua manusia miskin pasti tidak ada yang kaya. Tuhanlah yang mencipatakan siang dan malam, terang dan gelap, baik dan buruk, ganteng/cantik dan buruk muka. Kenapa kita harus memaksa manusia lain mengikuti tafsir kebenaran versi kita?

Bukankah Nabi Muhammad itu mengajarkan kita untuk berdakwah dengan cara hasanah? Bukankah al-Qura’an menuntun kita untuk mengajak manusia berbuat baik dengan cara hikmah?

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari serta bulan apabila mengiringinya dan siang apabila menampakkannya dan malam apabila menutupinya dan langit dengan strukturnya yang luar biasa, dan bumi dengan hamparannya(yang luas), dan jiwa dengan penyempurnaan (ciptaannya) dan yang diberiNYa Ilham pada jiwanya( untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, yang kemudian berkembang sesuai dengan tingkah laku manusia itu sendiri dengan kehendak manusia itu sendiri yang baik datang melalui malaikat sedang yang buruk datang melalui Iblis) sesungguhnya beruntunglah orang orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.”(XCI:1-10).

Di sanalah terjadi konflik antara kesalehan dan kebathilan. Memang demikianlah adanya. Karena, keadaan moral hanya dapat timbul dalam suatu keadaan konflik.Di satu sisi, terdapat suatu kecintaan yang keterlaluan terhadap keinginan-keinginan naluriah dalam diri manusia, dan realita dari hal tersebut telah ditekankan dengan ayat al-Qur’an berikut ini:
“Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa yang diingini (atas pengaruh desakan-desakan naluriah): wanita-wanita dan anak-anak, harta emas dan perak yang berlimpah, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Semuanya kesenangan hidup di dunia; dan tujuan yang paling baik hanyalah dekat dengan Tuhan.”(III:14).

Di sisi yang lain, ada sesuatu yang telah berurat berakar dalam usaha mengejar cita-cita (yang terdapat dalam jiwa manusia) yang tertinggi dari cita-cita tersebut adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti yang ditekankan pada akhir ayat di atas. Memimpin kehidupan manusia agar mencari cita-cita yang mulia dengan manis telah ditekankan dalam ayat yang mengikuti ayat tersebut di atas.
“ Katakanlah (ya Muhammad!): ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari hal tersebut (Obyek dari desakan-desakan naluriah)? Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah) adalah Taman Surga dalam kedekatan mereka terhadap Tuhan dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya; di sanalah rumah mereka yang kekal; dengan isteri-isteri mereka yang saleh (dan suci); serta keridhaan Allah Yang Baik. Dalam pandangan Allah semuanya adalah Hamba-NYA, yaitu orang-orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami! Sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari siksa Api Neraka’:yaitu orang-orang yang mempraktekkan sabr( yaitu sabar, berserah diri dan mengendalikan diri sendiri), yang dipercaya, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk sesama manusia), dan yang memohon ampunan di waktu sebelum fajar menyingsing mendekati subuh.”(III:15-17).

Dalam mengomentari “daya tarik obyek naluriah pada diri manusia”, baik menurut Nuryamin Aini, Eno Syafruddien maupun menurut Moh.Yakub S, daya tarik tersebut tidaklah buruk. Yang terpenting bagaimana agar keseimbangan hidup itu tetap terjaga.Tidak ada larangan bagi manusia untuk memenuhi dorongan naluriah selama pemenuhan itu tetap pada batas keseimbangan. Jika lapar, ya makan. Bila haus, ya minum. Bila merasa sepi dan sunyi karena sendirian ya bergaul dengan sesama manusia lainnya.Bila ngantuk ya tidur. Bila ingin brcinta ya menikah. Bila belum punya isteri/suami namun ingin bercinta ya puasa. Bila sudah merasa kenyang ya berhenti makan. Bila sudah hilang hausnya ya berhenti minum karena minum air putih sekalipun kalau terlalu banyak bisa menyebabkan perut kembung dan sakit apalagi minuman yang tidak halal dan tidak thoyyib. Itulah fitrah manusia. Yakni, manusia sadar yang senantiasa dapat mengontrol pemenuhan obyek naluriah secara seimbang dan tidak pernah berhenti kecuali istirahat sejak sebagai bagian menjaga keseimbangan itu. Einsten, misalnya mengatakan bahwa hidup itu ibarat seseorang yang sedang mengendarai sepeda. Bisa pelan jalannya, sedang, dan bahkan cepat.Bila berhenti kita akan jatuh karena kita tidak lagi bisa menjaga keseimbangan.
Dari Anas ra, bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda, "Bukanlah yang terbaik diantara kamu orang yang meninggalkan urusan dunianya karena (mengejar) urusan akhiratnya, dan bukan pula (orang yang terbaik) orang yang menhinggalkan akhiratnya karena mengejar urusan dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah (perantara) yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban orang lain."
Dalam surat al-Qashash ayat 77, Allah mengingatkan: 


وبتغ فيما اتىك الله الدارالأخرة ولاتنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفسادفى الارض إن الله لايحب المفسدين

Artinya; “ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Eno Syafruddien sempat mengutarakan bahwa KEMATANGAN SPIRITUAL pada hakikatnya merupakan bentuk seimbang antara hidup pada aspek fisik, nafsani, dan rohani.”Pertama, Hukum keseimbangan adalah interaksi antara being, thinking, feeling, dan doing. Orang yang matang spiritualitasnya adalah ia yang mampu menyeimbangkan dan mengintegrasikan empat unsur itu untuk merealisasikan potensi-potensi dasar dirinya MENjADi manusia yg super, matang spiritualitasnya. Kedua, Tanda orang super dalam kehidupan sehari-hari adalah ia positive (khusnu dzan) under the pressure, sensitive to people (emphatic), has controlled his/her voice, peace-maker not trouble-maker, dan good prayer ( always dependent onto
God in his/her relation with others). Tingkat kematangan spiritualitas seseorang dalam hubungannya dengan orang lain bisa dilihat dari cara ia mewujudkan (being) dirinya dari yang tertinggi to celebrate, to value, to learn, respect, to acknowlegde, to tolerate, to intolerate, to reject, to restrict, to oppress, to dehumanize, to murder, and to halacust others’’ tambah Eno Syafruddien
.Sementara KETIDAKMATANGAN SPIRITUAL, kata Nuryamin Aini, hanyalah bentuk reduksi atas nilai-nilai Ilahiyah pada tataran paraksis karena keterbatasan tafsir atas suatu kebenaran pada diri manusia. Oleh karena itu, akan sangat berbahaya bila seseorang atau sekelompok orang mencoba memaksakan kebenarannya sendiri kepada orang lain.
Oleh karenanya, perkembangan jiwa yang sehat, terletak pada aksi timbal balik nadi nafs al-amarah dan menaklukkan kekuatan jahatnya. Bila berhasil mengendalikannya, maka nafs manusia berkembang memasuki tahap di atas nafs-al-lawwamah dan menjadi nafs-al-mutma’innah atau Jiwa Yang Tenang. “Hai Jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Dan masuklah kamu di kalangan hambaKu dan masuklah kamu ke Taman-Ku”(LXXXIX:27-30).


No comments:

Post a Comment