KEMATANGAN
SPIRITUAL:MENJAGA KESEIMBANGAN
“Life is
like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” ― Albert
Einstein
By Moh.Ya’kub S
Pada hari senin,23
September 2013 saya telpon temen saya Nuryamin Aini(Dosen UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta) untuk temu kangen. Pertemuan pun terjadi di rumah Eno
Syafruddien. Dalam pertemuan itu kami berdiskusi masalah KEMATANGAN SPIRITUAL,
yang dlm salah satu wujudnya berupa TOLERANSI. Topik ini mengalir begitu
saja.Bisa jadi karena kami acapkali menyaksikan intoleransi dalam keseharian
kita saat ini.
Kenapa hal ini terus
terjadi? Eno Syafruddien mempertanyakan, apakah para pihak yang menurut
pandangan kita tidak toleran itu sebagai pihak yang tidak matang secara
spiritualitas, atau justeru sebaliknya, mereka melakukan itu karena mereka
ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sesuai dengan tuntunan agama yang
mereka pahami dan mereka yakini?
Dari pertanyaan tersebut,
diskusi kami bertiga masuk ke masalah KONFLIK BATIN DALAM JIWA MANUSIA.
Dalam al Qur’an ada 3 aspek dari hakikat jiwa (nafs) ini. Pertama, al-Nafs
al-Amarah(nafsu jahat yang mendesak.Lihat al-Qur’an,XII:53). Ia
mendesak agen moral untuk melampiaskan tuntutan tuntutan yang tidak
terkontrol.Desakan untuk korupsi(maaf menyela,saat saya lagi nulis ini Ketua MK
Akil Muhtar ditangkap KPK), mencuri,membunuh, memperkosa, memaksakan kehendak,
serakah, dholim,arogan, ingin menang sendiri, iri, dengki,ujub,riya,nafsu
berkuasa dengan menghalalkan berbagai macam cara, cinta duniawi yang membabi
buta, umbar syahwat biologis seksual, nafsu merasa paling benar sendiri,
sementara orang lain yang tidak sepaham dianggapnya salah, kafir, dan kalau
perlu dibunuh, dll. “…sesungguhnya nafsu tersebut menyuruh pada kejahatan
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”(XII:53). Kedua, al-Nafs
al-Lawwamah(nafsu yang sadar.Lihat al-Qur’an,LXXV:2).Ia senantiasa
menunjukkan jalan kebaikan: amanah bila dipercaya, berkomitmen bila berjanji,
berkata benar, jujur, adil, dermawan, rendah hati, toleran, tepo seliro,menebar
energy positif dimana mana, tidak memaksakan kehendak, tidak membunuh manusia
demi pembelaannya kepada Tuhan karena hakikatnya Tuhan itu tidak perlu dibela.
Tuhan Maha Kuasa, Yang Paling Kuat dari yang kuat. Tuhan Maha Perkasa yang
keperkasaannya tidak ada yang menandingi. Mengapa kita harus membunuh manusia
demi pembelaannya kepada Tuhan? Kita yakin dan seyakin yakinnya: Bila Tuhan
menghendaki manusia semuanya menjadi baik, pasti tidak ada manusia jahat. Bila
Tuhan menghendaki semua manusia jahat pasti tidak ada manusia baik. Bila Tuhan
menghendaki semuanya kaya pasti tidak ada yang miskin. Bila Tuhan menghendaki
semua manusia miskin pasti tidak ada yang kaya. Tuhanlah yang mencipatakan
siang dan malam, terang dan gelap, baik dan buruk, ganteng/cantik dan buruk
muka. Kenapa kita harus memaksa manusia lain mengikuti tafsir kebenaran versi
kita?
Bukankah Nabi Muhammad itu
mengajarkan kita untuk berdakwah dengan cara hasanah? Bukankah al-Qura’an
menuntun kita untuk mengajak manusia berbuat baik dengan cara hikmah?
“Demi matahari dan
cahayanya di pagi hari serta bulan apabila mengiringinya dan siang apabila
menampakkannya dan malam apabila menutupinya dan langit dengan strukturnya yang
luar biasa, dan bumi dengan hamparannya(yang luas), dan jiwa dengan
penyempurnaan (ciptaannya) dan yang diberiNYa Ilham pada jiwanya( untuk memilih
mana yang baik dan mana yang buruk, yang kemudian berkembang sesuai dengan
tingkah laku manusia itu sendiri dengan kehendak manusia itu sendiri yang baik
datang melalui malaikat sedang yang buruk datang melalui Iblis) sesungguhnya
beruntunglah orang orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah
orang-orang yang mengotorinya.”(XCI:1-10).
Di sanalah terjadi konflik
antara kesalehan dan kebathilan. Memang demikianlah adanya. Karena, keadaan
moral hanya dapat timbul dalam suatu keadaan konflik.Di satu sisi, terdapat
suatu kecintaan yang keterlaluan terhadap keinginan-keinginan naluriah dalam
diri manusia, dan realita dari hal tersebut telah ditekankan dengan ayat al-Qur’an
berikut ini:
“Dijadikan indah dalam
pandangan manusia kecintaan kepada apa yang diingini (atas pengaruh
desakan-desakan naluriah): wanita-wanita dan anak-anak, harta emas dan perak
yang berlimpah, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.
Semuanya kesenangan hidup di dunia; dan tujuan yang paling baik hanyalah dekat
dengan Tuhan.”(III:14).
Di sisi yang lain, ada
sesuatu yang telah berurat berakar dalam usaha mengejar cita-cita (yang
terdapat dalam jiwa manusia) yang tertinggi dari cita-cita tersebut adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti yang ditekankan pada akhir ayat di atas.
Memimpin kehidupan manusia agar mencari cita-cita yang mulia dengan manis telah
ditekankan dalam ayat yang mengikuti ayat tersebut di atas.
“ Katakanlah (ya
Muhammad!): ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari hal
tersebut (Obyek dari desakan-desakan naluriah)? Untuk orang-orang yang bertakwa
(kepada Allah) adalah Taman Surga dalam kedekatan mereka terhadap Tuhan dengan
sungai-sungai yang mengalir di bawahnya; di sanalah rumah mereka yang kekal;
dengan isteri-isteri mereka yang saleh (dan suci); serta keridhaan Allah Yang
Baik. Dalam pandangan Allah semuanya adalah Hamba-NYA, yaitu orang-orang yang
berdoa: ‘Ya Tuhan kami! Sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala
dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari siksa Api Neraka’:yaitu orang-orang
yang mempraktekkan sabr( yaitu sabar, berserah diri dan mengendalikan diri
sendiri), yang dipercaya, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah) untuk sesama manusia), dan yang memohon ampunan di
waktu sebelum fajar menyingsing mendekati subuh.”(III:15-17).
Dalam mengomentari “daya
tarik obyek naluriah pada diri manusia”, baik menurut Nuryamin Aini, Eno
Syafruddien maupun menurut Moh.Yakub S, daya tarik tersebut tidaklah buruk.
Yang terpenting bagaimana agar keseimbangan hidup itu tetap terjaga.Tidak ada
larangan bagi manusia untuk memenuhi dorongan naluriah selama pemenuhan itu
tetap pada batas keseimbangan. Jika lapar, ya makan. Bila haus, ya minum. Bila
merasa sepi dan sunyi karena sendirian ya bergaul dengan sesama manusia
lainnya.Bila ngantuk ya tidur. Bila ingin brcinta ya menikah. Bila belum punya
isteri/suami namun ingin bercinta ya puasa. Bila sudah merasa kenyang ya
berhenti makan. Bila sudah hilang hausnya ya berhenti minum karena minum air
putih sekalipun kalau terlalu banyak bisa menyebabkan perut kembung dan sakit
apalagi minuman yang tidak halal dan tidak thoyyib. Itulah fitrah manusia.
Yakni, manusia sadar yang senantiasa dapat mengontrol pemenuhan obyek naluriah
secara seimbang dan tidak pernah berhenti kecuali istirahat sejak sebagai
bagian menjaga keseimbangan itu. Einsten, misalnya mengatakan bahwa hidup itu
ibarat seseorang yang sedang mengendarai sepeda. Bisa pelan jalannya, sedang,
dan bahkan cepat.Bila berhenti kita akan jatuh karena kita tidak lagi bisa
menjaga keseimbangan.
Dari Anas
ra, bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda, "Bukanlah yang terbaik
diantara kamu orang yang meninggalkan urusan dunianya karena (mengejar) urusan
akhiratnya, dan bukan pula (orang yang terbaik) orang yang menhinggalkan
akhiratnya karena mengejar urusan dunianya, sehingga ia memperoleh
kedua-duanya, karena dunia itu adalah (perantara) yang menyampaikan ke akhirat,
dan janganlah kamu menjadi beban orang lain."
Dalam
surat al-Qashash ayat 77, Allah mengingatkan:
وبتغ فيما
اتىك الله الدارالأخرة ولاتنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ
الفسادفى الارض إن الله لايحب المفسدين
Artinya;
“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Eno Syafruddien sempat
mengutarakan bahwa KEMATANGAN SPIRITUAL pada hakikatnya merupakan bentuk
seimbang antara hidup pada aspek fisik, nafsani, dan rohani.”Pertama, Hukum keseimbangan adalah interaksi antara
being, thinking, feeling, dan doing. Orang yang matang spiritualitasnya adalah
ia yang mampu menyeimbangkan dan mengintegrasikan empat unsur itu untuk
merealisasikan potensi-potensi dasar dirinya MENjADi manusia yg super, matang
spiritualitasnya. Kedua, Tanda orang super dalam kehidupan sehari-hari adalah
ia positive (khusnu dzan) under the pressure, sensitive to people (emphatic),
has controlled his/her voice, peace-maker not trouble-maker, dan good prayer (
always dependent onto
God in his/her relation with others). Tingkat kematangan spiritualitas seseorang dalam hubungannya dengan orang lain bisa dilihat dari cara ia mewujudkan (being) dirinya dari yang tertinggi to celebrate, to value, to learn, respect, to acknowlegde, to tolerate, to intolerate, to reject, to restrict, to oppress, to dehumanize, to murder, and to halacust others’’ tambah Eno Syafruddien .Sementara KETIDAKMATANGAN SPIRITUAL, kata Nuryamin Aini, hanyalah bentuk reduksi atas nilai-nilai Ilahiyah pada tataran paraksis karena keterbatasan tafsir atas suatu kebenaran pada diri manusia. Oleh karena itu, akan sangat berbahaya bila seseorang atau sekelompok orang mencoba memaksakan kebenarannya sendiri kepada orang lain.
God in his/her relation with others). Tingkat kematangan spiritualitas seseorang dalam hubungannya dengan orang lain bisa dilihat dari cara ia mewujudkan (being) dirinya dari yang tertinggi to celebrate, to value, to learn, respect, to acknowlegde, to tolerate, to intolerate, to reject, to restrict, to oppress, to dehumanize, to murder, and to halacust others’’ tambah Eno Syafruddien .Sementara KETIDAKMATANGAN SPIRITUAL, kata Nuryamin Aini, hanyalah bentuk reduksi atas nilai-nilai Ilahiyah pada tataran paraksis karena keterbatasan tafsir atas suatu kebenaran pada diri manusia. Oleh karena itu, akan sangat berbahaya bila seseorang atau sekelompok orang mencoba memaksakan kebenarannya sendiri kepada orang lain.
Oleh karenanya,
perkembangan jiwa yang sehat, terletak pada aksi timbal balik nadi nafs
al-amarah dan menaklukkan kekuatan jahatnya. Bila berhasil
mengendalikannya, maka nafs manusia berkembang memasuki tahap di atas nafs-al-lawwamah
dan menjadi nafs-al-mutma’innah atau Jiwa Yang Tenang. “Hai Jiwa
yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya.
Dan masuklah kamu di kalangan hambaKu dan masuklah kamu ke
Taman-Ku”(LXXXIX:27-30).
No comments:
Post a Comment